Cetirizine
Merupakan antihistamin yang
sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor
histamin-1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain
mempunyai efek antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek
antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan kemotaksis
sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan
ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi.
Cetirizine merupakan metabolit
aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu
hidroksizin. Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang bersifat
dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran cerna. Efek sistem saraf pusat
(SSP) dari antihistamin generasi memperpanjang interval QTc dibandingkan
plasebo. Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot polos, sel
endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor tersebut mudah dicapai
dari sirkulasi darah. Oleh karena itu, antagonis reseptor H1 tidak memerlukan
distribusi jaringan yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil,
hasil akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1 adalah reseptor
eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai tanpa penetrasi sel dan tidak
memerlukan penembusan kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi
pertama dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti diazepam.
Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping terhadap hepar dan jantung.
Metabolit cetirizine tidak
diolah di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang tidak
berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak membran sel atau sitosol.
Sebagian besar antagonis H1 tidak dapat melewati sawar darah otak, namun
beberapa obat dengan liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut.
Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis H1, maka penembusan
sawar darah otak dapat diminimalisasi. Selain mempunyai efek antagonis terhadap
reseptor H1, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi
cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan migrasi eosinofil (in
vivo) ke lokasi kulit yang terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro
menghambat kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta aktivasi
platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil.
Efek antiinflamasi cetirizine
juga tercapai melalui penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel
konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di kulit, hidung,
mata dan paru. Efek tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan cetirizine
menghambat efek histamin, karena histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1.
Oleh karena itu, dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek
antihistamin “klasik”, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi.
Pada suatu penelitian,
didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama
kerja merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan cetirizine,
loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar dibandingkan cetirizine untuk
memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali
lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine
dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya. Perbedaan ini
disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen cetirizine tidak dimetabolisme di
hati, sehingga efek terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat
lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan hasil
metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu, kemampuan
metabolisme obat-obat tersebut sangat bervariasi di antara setiap orang.
Daftar Pustaka
No comments:
Post a Comment